Perlunya Penyesuain UU Tipikor, KPK Gelar FGD di Surabaya
SURABAYA | BOGORFAKTUAL - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar Focus Group Discussion (FGD), bertajuk “Pembaruan UU Tindak Pidana Korupsi” dengan menghadirkan pandangan para pakar tentang kendala dalam pemberantasan korupsi dan perlunya penyesuaian UU Tipikor. di Surabaya, pada Selasa (29/10/2024).
FGD yang menjadi rangkaian kegiatan jelang Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2024 ini didasari oleh lima alasan utama mengapa pembaruan Undang-Undang Tipikor sangat mendesak. Salah satunya, Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention against Corruption (UNCAC) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, namun hingga kini, UU Tipikor belum sepenuhnya mengakomodasi mandat-mandat yang diwajibkan oleh UNCAC.
Seiring perkembangan global, Indonesia butuh UU Tipikor yang lebih adaptif untuk menghadapi tantangan korupsi modern. UU Nomor 30 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 perlu pembaruan agar lebih efektif dan relevan.
Mantan komisioner KPK Laode M. Syarif, menyoroti pasal 2 dan pasal 3 dalam UU Tipikor saat ini. 2 pasal tersebut sama-sama menjerat pelaku tindak pidana korupsi. Perbedaannya,
"Dalam pasal 3, pelaku bisa dijerat jika mempunyai kewenangan, sedangkan pasal 2, setiap orang yang dimaksud dalam pasal lebih luas dan umum. Namun, pada aplikasinya, muncul pula potensi korupsi oleh penegak hukum karena perbedaan bobot sanksi kedua pasal tersebut. “Perlu pembaruan UU Tipikor, misalnya saja rumusan pasal 2 dan pasal 3, agar tidak dijadikan alat tawar-menawar dalam proses penegakan hukum. Jika ada revisi, sebaiknya pasal 2 dan 3 disatukan, dan kerugian perekonomian atau keuangan negara yang ditimbukan pelanggarnya dapat dijadikan pemberat sanksi pidananya,” saran Laode.
Sementara itu, Hakim Agung Kamar Pidana Mahkamah Agung Prof. Surya Jaya mengatakan, hambatan dalam pembuktian delik dan pengembalian keuangan/perekonomian Negara atau kekayaan negara. Misalnya saja dalam korupsi di sektor pertambangan, yang sanksinya belum diatur secara khusus, dan juga tak sepenuhnya diatur dalam regulasi pertambangan.
“Kerugian kekayaan negara yang ada di pertambangan, harus dijadikan delik korupsi. Jika tidak, instrumen pemulihan kekayaan negara tak akan dimungkinkan, karena UU Pertambangan tidak mengakomodir itu,” ujar Prof. Surya
Prof. Surya juga menyarankan, setidaknya sejumlah sanksi dapat diterapkan bagi pelaku korupsi di sektor sumber daya alam, berdasarkan kerugian yang ditimbulkan tindak pidana korupsi tersebut. Untuk kerugian substansial atau material, tentunya harus diberikan sanksi yang kemudian akan masuk ke kas Negara. Sementara kerugian lingkungan yang memerlukan pemulihan dalam bentuk reklamasi misalnya, tetap harus dihitung dan dibebankan kepada pelaku.
“Orientasi pendekatan (pidana) hari ini adalah recovery, tak semata retributif sanksi pidana penjara atau denda, denda jangan lagi di-subsider, tapi diganti menjadi hak tagih negara,” tegas Prof. Surya.
Selain itu, Pakar hukum pidana dari Universitas Airlangga, Maradona, mengusulkan pembaruan UU Tipikor nantinya harus mengatur lebih spesifik siapa yang dapat dijerat terkait delik tersebut.
“Yang harus dijadikan target pengaturan bukan pengambilan keputusan saja, namun juga yang ada di sekeliling pengambil keputusan. Harus diciptakan kriteria, terutama jika dalam konteks lobi politik,” ulas Maradona.
Selaras dengan visi Asta Cita Pemerintah 2024-2029, korupsi harus diberantas secara menyeluruh. Pembaruan UU Tipikor sejalan dengan kebutuhan reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta pentingnya penyeimbangan antara penegakan hukum dan pencegahan korupsi. Dengan memperkuat pemulihan kerugian keuangan negara, pembaruan ini akan mendorong keberlanjutan reformasi yang lebih kokoh.
Urgensi ini sejalan dengan histori dimana pada September 2023, Tim Percepatan Reformasi Hukum di bawah Kemenko Polhukam mengeluarkan rekomendasi agar UU Tipikor segera direvisi. Rekomendasi tersebut mencakup adopsi delik-delik penting, seperti foreign bribery, illicit enrichment, trading in influence, dan bribery in the private sector. Target penyelesaian revisi UU ini adalah pada 2025, yang menjadikannya momentum penting dalam memperkuat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Dengan segera terealisasinya pembaruan UU Tipikor, Indonesia diharapkan dapat memperkuat penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi yang semakin canggih dan kompleks, serta memperkokoh posisi dalam kerjasama internasional di bidang pemberantasan korupsi. (***)
#UUTipikor
#AssetRecovery